– Visi Pariwisata DIY baru saja ditetapkan.Visinya menjadikan pariwisata DIY terkemuka di Asia Tenggara yang berkelas dunia. Itu semua tertuang di Perda DIY No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPPARDA) DIY 2012-2025.
“Jadi tinggal sekadar berbicara dan terkemuka di Asean, tapi harus berkelas dunia,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo di depan peserta workshop Sadar Wisata dan Sapta Pesona yang berlangsung di Hotel Grand Quality Jogja, kemarin (12/6).
Workshop diikuti oleh sejumlah pelaku pariwisata DIY. Acara juga diikuti peserta dari organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemda DIY. Keterlibatan perwakilan OPD lain itu karena masalah pariwisata bukan sekadar urusan Dinas Pariwisata DIY. Namun terkait dengan banyak pemangku kepentingan.
Termasuk instansi-instansi di provinsi, kabupaten dan kota se-DIY. “Pengembangan pariwisata memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai elemen dan pemangku kepentingan,” ujarnya.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu lantas memberikan ilustrasi saat libur Lebaran 2019. Jauh hari, pihaknya melakukan kooordinasi secara intensif dengan sejumlah OPD. Tujuannya mengantisipasi adanya kejadian tidak mengenakan yang menimpa para wisatawan yang datang ke Jogja.
“Tahun lalu beberapa wisatawan mengeluh karena saat membeli makanan ditutuk dengan harga tidak wajar. Alhamdulillah, tahun ini kejadiannya bisa kami minimalisasi berkat koordinasi dengan berbagai pihak,” ujar Singgih dengan nada sumringah.
Kembali ke visi pariwisata DIY, Singgih mengutip pengarahan dari Gubernur DIY Hamengku Buwono X. Dikatakan, sesuai dengan komitmen orang nomor satu di DIY itu, pembangunan pariwisata harus memberikan manfaat bagi masyarakat. “Bermanfaat sehingga pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat,” terangnya.
Singgih menambahkan, pariwisata merupakan sektor yang berperan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung. DIY punya banyak contoh. Di antaranya berkembangnya destinasi wisata di sejumlah tempat yang diinisiasi masyarakat. Misalnya kawasan wisata hutan pinus Mangunan, Dlingo, Bantul, Tebing Breksi Prambanan, Sleman dan Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk Gunungkidul. Contoh itu ada di desa-desa wisata.
“Selama setahun uang yang berputar dan dikelola masyarakat di destinasi wisata mencapai miliaran rupiah. Semua masyarakat dan tidak ada yang dikelola investor,” jelas Singgih bangga. Dikatakan, pariwisata menjadi menyumbang devisa terbesar kedua terbesar bagi negara. Demikian pula bagi produk domestik regional bruto (PDRB) bagi DIY. Pariwisata menjadi penyumbang urutan kedua dari 17 sektor lapangan usaha di DIY.
Meski punya peluang besar terus dikembangkan, Singgih mengingatkan pariwisata DIY tidak boleh dipisahkan dari budaya. Karena itu, pengembangan pariwisata harus tetap bertumpu dan berakar pada budaya masyarakat DIY.
Di tempat sama, Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM Janianton Damanik mengingatkan pariwisata harus bisa menjaga aset kultural. Wisatawan yang datang tidak bisa bertindak seenaknya. “Contohnya yang terjadi di Borobudur. Wisatawan harus memahami etika pariwisata,” katanya.
Setelah workshop Sadar Wisata dan Sapta Pesona, di tempat sama hari ini dan besok acara dilanjutkan dengan workshop bagi para pengelola homestay di DIY. Data tercatat jumlah homestay yang dikelola masyarakat ada 1300 dengan jumlah kamar sebanyak 2600. Kamar homestay di beberapa desa wisata setingkat dengan hotel bintang tiga. Sedangkan jumlah kampung dan desa wisata se-DIY ada sebanyak 114. (kus)