Status putra mahkota Mataram resmi dikembalikan kepada Pangeran Tejaningrat. Putra Susuhunan Amangkurat I dengan permaisuri Ratu Kulon mendapatkan amnesti sekaligus rehabilitasi. Ayahandanya memberikan pengampunan dan memulihkan nama baiknya Tejaningrat.

Amangkurat I memerintahkan jaksanagara Mataram menjemput anaknya dari Hutan Lipura. Setelah dibebaskan dari hukuman, Tejaningrat menghadap ayahandanya di Bangsal Prabayaksa Keraton Plered. Keduanya terlibat pembicaraan serius. Hubungan antara raja dan putra mahkota kembali hangat.

Suasana itu rupanya hanya berlangsung sementara. Tak lebih dari 10 tahun. Sekitar 1668-1670 konflik keduanya untuk kali kesekian terulang.  Kali ini pemicunya mengenai seorang wanita. Antara Amangkurat I dengan Tejaningrat sesungguhnya punya banyak perbedaan. Dari sekian perbedaan itu hanya ada satu persamaan. Soal wanita. Sama-sama gemar terhadap perempuan-perempuan cantik.

Konflik itu menimbulkan perasaan sakit hati putra mahkota. Dia kembali teringat dengan tindakan ayahnya terhadap keluarga Pangeran Pekik. Karena masalah politik Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik dan istrinya Ratu Pandansari beserta tiga putranya. Padahal Pekik dan Pandansari adalah kakek dan nenek Tejaningrat. Sejak kecil dia dirawat  penguasa Kadipaten Surabaya itu. Ibunya, Ratu Kulon meninggal 40 hari usai melahirkan Tejaningrat.

Putra mahkota merasa gundah. Dia pergi ke Kajoran, Klaten, menemui Raden Kajoran. Kepada tuan rumah yang juga dikenal dengan sebutan Panembahan Rama, putra mahkota curhat. Dia ungkapkan semua perasaannya atas tindakan ayahnya.

Silsilahnya, Panembahan Rama ini masih keturunan Sunan Pandanaran di Tembayat. Karena itu, Panembahan Rama merupakan tokoh spiritual yang disegani. Khususnya oleh penguasa Mataram. Tahun 1630, ulama-ulama Tembayat pernah mengadakan perlawanan terhadap Sultan Agung. Mereka menggelorakan gerakan Ganti Sultan. Untuk meredam aksi itu, pada 1633, Sultan Agung berziarah ke makam Sunan Bayat. Makam suci itu kemudian direnovasi atas perintah penguasa Mataram itu.

Kini situasi telah berubah. Saat mendengarkan curhat putra mahkota, Panembahan Rama teringat dengan menantunya Raden Trunajaya asal Madura. Trunajaya punya perasaan yang sama dengan putra mahkota. Keduanya sama-sama tidak suka terhadap kebijakan Amangkurat I.

Trunajaya harus lari dari Madura gara-gara daerahnya diserbu pasukan Mataram. Ayahnya dibunuh pasukan Amangkurat I pada 1656. Jiwanya terancam sehingga menyelamatkan diri ke Kajoran. Dia kemudian menikah dengan putri sulung Panembahan Rama.

Sekitar 1670, Panembahan Rama menginisiasi pertemuan putra mahkota dengan Trunajaya. Dalam pertemuan itu, keduanya sepakat merancang aksi demo besar-besaran di seluruh wilayah Mataram. Aksi massa dimulai dari Jawa Timur. Terus bergerak ke barat hingga ibu kota Mataram di Plered.

Tujuan aksi itu untuk melengserkan Amangkurat I dari takhtanya. Jika aksi itu berhasil, putra mahkota menjadi susuhunan baru di Mataram. Sedangkan Trunajaya diberi kekuasaan atas Madura dan sebagian Jawa Timur.

Sekaligus merangkap pepatih dalem  atau semacam perdana menteri Kerajaan Mataram. Format power sharing   kekuasaan disepakati. Putra mahkota kembali ke Plered. Trunajaya kembali ke Madura. Aksi demo dimulai 1671. Daerah pertama yang menjadi sasaran adalah Pamekasan.

Aksi yang dirancang Trunajaya itu didukung orang-orang Makassar. Anak buah Karaeng Galengsong dari Kerajaan Gowa. Mereka baru saja kalah perang dengan Arung Palakka sehingga lari ke Jawa. Orang-orang Makassar itu berada di garis depan saat demo. (zam/rg)