Wajah Kampung Badran berubah. Komitmen warganya membuat kampung yang dulunya ”angker” ini menjadi asri, hijau, dan nyaman. Perekonomian juga meningkat.
WINDA ATIKA IRA P, Jogja, Radar Jogja
KAMPUNG Preman. Stigma itu begitu lekat dengan Kampung Badran. Saking lekatnya, warga Kota Jogja spontan nyletuk Kampung Preman begitu mendengar nama kampung yang terletak di pinggir Sungai Winongo itu disebut.
”Bukan lagi katanya. Saya sendiri yang asli sini merasakan langsung (stigma Kampung Preman, Red),” kelakar Edi Mugiarto menceritakan stigma kampungnya seperti dikutip Radar Jogja, Jumat (26/7).
Penilaian negatif itu tidak muncul tiba-tiba. Tiga atau empat dekade lalu, kondisi perekonomian kampung yang terletak di Kelurahan Bumijo, Jetis, Kota Jogja, ini begitu tertinggal. Mayoritas warganya kelas menengah ke bawah. Pun dengan pendidikan warganya. Banyak yang putus sekolah.
Nah, kombinasi perekonomian yang pas-pasan dengan tingkat pendidikan ini memengaruhi pola pikir warganya.
”Dulu, kami saat kecil pun mau sekolah SMP saja sangat susah,” kenang pria yang memiliki usaha fotokopi dan jual beli mobil ini.
Tapi, itu dulu. Wajah Kampung Badran tak lagi ”angker”. Sejuk, asri, dan nyaman yang saat ini terasa. Bahkan, standar kampung hijau nan ramah lingkungan ada di Kampung Badran.
Ya, sejak dua tahun terakhir, Edi getol menggerakkan warga Kampung Badran. Persisnya ibu-ibu dari lima RT di RW 11. Pria paro baya ini mengajak kalangan ibu rumah tangga itu memanfaatkan pekarangan kosong yang menganggur di tengah perkampungan. Untuk disulap menjadi kebun mini.
”Luas lahannya sekitar 60 meter persegi,” sebut Edi sembari memeriksa beberapa tanamannya yang siap panen.
Ide ”menghijaukan” Kampung Badran sebenarnya telah terealisasi sejak lama. Tepatnya pada 2007. Hanya, ide Kampung Badran go green itu di tengah perjalanan mandek. Padahal, Edi juga telah membentuk kelompok tani (klomtan). Namanya Tani Makmur.
”Karena kesadaran dan semangatnya masih setenga-setengah,” ucapnya.
Dengan tangan dingin bapak tiga anak ini, kelompok tani yang sempat vakum satu dekade lebih itu kembali mengggeliat. Sebanyak 35 ibu rumah tangga dari lima RT itu kembali bersemangat.
Ada 10 jenis sayuran yang mengisi kebun mini Kampung Badran. Tanaman seperti Sawi, kangkung oyot, brokoli, selada, terong, gambas, cabai, tomat, bayam, hingga kubis ungu tertanam rapi di pot-pot kecil. Ada pula yang tumbuh di media polybag. Seluruhnya tumbuh subur. Aman pula dikonsumsi. Lantaran Klomtan Tani Makmur hanya menggunakan pupuk organik.
”Pilih sayuran karena usianya pendek,” tuturnya.
Hasil panen kebun ini, kata Edi, dikonsumsi sendiri. Mayoritas dijual ke warga sekitar. Dan, mayoritas warga di Kampung Badran juga memiliki kebun mini di halaman rumahnya.
Aktivitas di kebun mini di tengah permukiman padat penduduk ini pun lambat laun meningkatkan perekonomian warga. Juga mengantarkan Kampung Badran menggondol predikat juara pertama lomba pekarangan di tingkat Kota Jogja. Tanpa permintaan warga stigma Kampung Preman yang melekat puluhan tahun itu pun pudar. Berganti menjadi Kampung Hijau.
”Lahan sempit bukan penghalang untuk menanam sayur,” tegasnya.
Nah, komitmen Kampung Badran menarik perhatian Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi. HP, sapaannya, kemarin ikut memanen tanaman di kebun mini.
”Yang terpenting, para petani tidak hanya sekadar menghasilkan, tapi juga harus bisa survive dengan pendapatannya,” jelas HP yang memilih memanen sawi.
Bagi HP, kiprah Kampung Badran bisa dicontoh kampung-kampung lain. Terutama kampung yang padat penduduk. Selain kebun mini, Kampung Badran juga memiliki budidaya lele dan pengelolaan sampah.
”Kalau bisa setiap rumah menanam, sehingga bisa panen raya bareng,” harapnya. (jpc/riz)