SLEMAN – Pusat Studi Mineral & Energi UPN “Veteran” Jogjakarta menyelenggarakan diskusi publik dengan topik Perpanjangan Blok Migas : Antara Nasionalisasi vs Kepentingan Negara . Diskusi itu menghadirkan narasumber Tenaga Ahli SKK Migas Sulistya Hastuti Wahyu, Pengamat Ekonomi Energi UGM Dr Fahmy Radhi, dan Guru Besar Teknologi Kelautan ITS/mantan Anggota DEN 2009-2014 Prof Dr Mukhtasor.
Sebagaimana diketahui, blok minyak dan gas bumi (migas) yang diberikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama nasional maupun asing yang habis kontraknya pada tahun 2015-2024 memberikan kontribusi sebesar 72,5 persen dari produksi migas nasional.
Pengamat Ekonomi dan Energi Fahmy Radhi menyampaikan, pemerintah memberikan pengelolaan Blok Mahakam yang habis tahun 2015 secara langsung 100 persen kepada Pertamina. Namun sayangnya, justru produksi malah turun dibandingkan saat masih dikelola oleh operator sebelumnya, padahal cadangan yang ada di Blok Mahakam masih besar.
”Ada apakah dengan Pertamina? Karena ada fakta lain bahwa Blok Offshore North West Java setelah diserahkan ke Pertamina produksinya juga turun dan terakhir ada kecelakaan dan masih belum selesai ditangani,” lanjut Fahmi.
Pemberian perpanjangan Blok Rokan yang menggunakan mekanisme tender dan lagi-lagi dimenangkan oleh Pertamina karena komitmen investasi yang lebih besar dibandingkan Chevron. Menurutnya, ini menunjukkan perpanjangan blok migas terminasi dengan cara nasionalisasi terpatahkan karena hal tersebut diperoleh melalui tender business to business.
Perpanjangan Blok Corridor yang saat ini banyak dibicarakan karena ada ketidakpuasan disebabkan Pertamina tidak diberikan 100 persen sebagai pengelolanya. Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli SKK Migas Sulistya Hastuti Wahyu mengatakan, pemerintah tetap memperhatikan Pertamina sebagai NOC.
”Walaupun sahamnya bukan yang terbesar, namun pada konsorsium pengelola Blok Corridor, Pertamina memiliki peran dan pengaruh penting terkait kebijakan karena akan bertindak sebagai operator pada tahun 2026 nanti,” ujar Sulistya.
Pada sisi lain, sejak 2014 defisit neraca migas terus membesar, dan puncaknya pada bulan Juli 2019 Presiden Jokowi menyampaikan keluhannya dan meminta kementerian terkait yaitu Kementerian BUMN dan ESDM untuk melakukan langkah-langkah mengurangi defisit neraca migas karena memberikan porsi terbesar dalam defisit neraca perdagangan Indonesia yang terus membesar sehingga menyebabkan perekonomian tumbuh stagnan.
Pada diskusi tersebut, Mukhtasor juga menyoroti terus menurunnya kinerja Pertamina karena efisiensi yang rendah, padahal pada 2016, Pertamina berhasil menghasilkan laba terbesar sepanjang sejarah hingga mengalahkan laba Petronas. Melihat kondisi Pertamina saat ini yang masih terus bongkar pasang manajemen, kemudian kinerja yang menurun, dapat dibayangkan bagaimana nasib produksi migas nasional jika diserahkan semuanya kepada Pertamina. Maka sudah benar apa yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu melakukan keseimbangan dalam pengelolaan industri migas nasional dengan senantiasa menempatkan kepentingan negara untuk kesejahteraan rakyat sebagai pondasi utama dengan tetap memperkuat kapasitas Pertamina. (ila)