Sejarah masyarakat Tionghoa tersaji di rumah ini. Terletak di Jalan Ketandan, Kota Jogja. Bukan saja arsitektur bangunannya yang sarat akan sejarah dan budaya. Tapi juga sosok Tan Jin Sing, sang kapiten Tionghoa.

DWI AGUS, Jogja

BANGUNAN itu hampir seusia dengan Pura Pakualaman. Dibangun pada medio 1790-an. Meski usianya sudah lebih dua abad, bangunan khas Tiongkok itu masih tegak berdiri. Itulah Rumah Budaya Tionghoa. Terletak di Kampung Ketandan, Kota Jogja. Atau dikenal dengan kawasan pecinannya Jogja.

“Yang lenggah (duduk/memimpin) di situ seorang kapiten Tionghoa. Namanya Tan Jin Sing,” ungkap Ketua RW 05 Ketandan Tjundaka Prabawa, Rabu (13/2). “Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III, Tan Jin Sing dianugerahi gelar KRT Setjodiningrat,” sambung pengusaha emas itu.

Tan Jin Sing adalah menantu Yap Sa Ting Ho, pemilik asli rumah tersebut. Tan Jin Sing lahir di Wonosobo pada 1760. Dia terlahir sebagai muslim keturunan ningrat. Di Jogjakarta dia pernah didaulat sebagai bupati pada medio 1800-an.

Tan Jin Sing dipercaya oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa kala itu. Oleh raja yang bertakhta saat itu Tan Jing Sing juga dipercaya sebagai Tondo atau penarik pajak warga Tionghoa.

Dari situlah awal mula penyebutan Ketandan. Selain beristrikan seorang Tionghoa, Tan Jing Sing memiliki istri keturunan keraton. Tan Jin Sing meninggal pada 1831. Jenazahnya dimakamkan di Mrisi, Madukismo, Kasihan, Bantul.

Semasa hidupnya, Tan Jin Sing sangat dipercaya oleh Hamengku Buwono III, raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kala itu. Bahkan, keseharian Tan Jin Sing dihabiskan di dalam benteng keraton. Tiap Senin hingga Jumat. Hanya saat akhir pekan Tan Jin Sing pulang ke rumahnya di Ketandan.

Pada awal pendiriannya, rumah tersebut sangatlah luas. Total luas tanah dan bangunannya mencapai hampir satu hektare. Dalam kondisi sekarang kira-kira hingga Toko Ramayana di Jalan Malioboro. Kala itu wujudnya satu bangunan besar. Tanpa penyekat yang sekarang menjadi jalan kampung. Rumah itulah cikal bakal lahirnya Kampung Ketandan.

Memasuki awal 1900-an keluarga dari istri pertama Tan Jing Sing mulai berdatangan. Demi keadilan, rumah besar itu pun dibagi beberapa kapling. Keluarga keturunanTan Jing Sing menempati rumah bagian belakang. Luasnya 600 meter persegi. “Rumah inilah yang kemudian menjadi Rumah Budaya Tionghoa saat ini,” jelas Tjundaka.

Sekilas bagian depan rumah kuno itu sekilas tampak cukup terawat. Hanya tembok di bagian dalam sudah mengelupas di beberapa bagian. Juga retak-retak cukup lebar hingga semak belukar di luar bangunan terlihat jelas dari dalam.
Rumah Budaya Tionghoa beberapa kali berganti kepemilikan. Pernah dibeli oleh seorang warga pada medio 1900-an.

Terakhir dibeli oleh Dinas Kebudayaan DIJ. Dijadikan bangunan cagar budaya. Kemudian direstorasi. Untuk dikembalikan ke bentuk aslinya. “Sempat mengalami perubahan bentuk. Tapi tidak begitu banyak. Properti tambahan akan dicopot dan bagian yang hilang akan dipasang kembali,” jelas Tjundaka.

Ke depan Rumah Budaya Tionghoa akan difungsikan sebagai museum. Sebagai peranakan wujud akulturasi dan asimiliasi antara budaya Tiongkok dan Jawa. Salah satunya budaya encim. Atau lebih dikenal dengan istilah gaya pesisiran. Diperkuat lagi dengan sejarah kawasan Ketandan dengan sosok Tan Jin Sing sebagai tokoh utamanya.

Di rumah ini pula tersimpan puluhan wayang potehi. Tersebar di setiap dinding berlapiskan kain merah.

Rumah tersebut menjadi House of Potehi selama Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta 2019. “Mangga (silakan) berkunjung saja. Bebas bertanya-tanya tentang sejarah cikal bakal Kampung Ketandan dan sosok Tan Jin Sing,” tutur Tjundaka. (yog/riz)